INILAHPOS.com - Di balik hamparan hijau pegunungan dan derasnya aliran sungai di pedalaman Sinjai, Sulawesi Selatan, bayang-bayang kerusakan mulai mengintip.
Rencana penambangan emas oleh PT Trinusa Resources di empat kecamatan yakni, Sinjai Selatan, Sinjai Tengah, Sinjai Barat, dan Bulupoddo, menciptakan gelombang kekhawatiran di tengah masyarakat dan para pemerhati lingkungan.
Tak kurang dari 11.326 hektare lahan disebut akan terdampak. Di atas tanah-tanah itu, tumbuh kebun, hutan, dan ladang harapan warga yang menggantungkan hidupnya dari alam.
Salah satu suara lantang yang menyerukan penolakan datang dari aktivis lingkungan muda dari Komunitas Pemuda Peduli Lingkungan Asri dan Bersih
(Pepelingasih) Sulawesi Selatan, Jumadil Asri.
"Ketika tambang mulai beroperasi, maka risiko kerusakan lingkungan akan meningkat. Mulai dari potensi longsor, rusaknya lahan produktif milik petani, hingga tercemarnya sumber mata air yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat," ujar Jumadil dengan nada prihatin dalam keterangannya, Rabu, (18/6/2025).
Baginya, suara alam tak bisa dibungkam oleh kilauan emas. Ia melihat potensi bencana ekologis yang bisa menghantam masyarakat dalam diam. Sumber air keruh, tanah retak, dan hilangnya keanekaragaman hayati adalah harga mahal yang harus dibayar untuk sebuah investasi yang disebut “emas”.
Ia menggambarkan tambang sebagai “keuntungan sesaat dengan kerusakan jangka panjang”. Sebuah ungkapan yang mencerminkan kekhawatiran atas proyek-proyek ekstraktif yang kerap menjanjikan pembangunan, namun meninggalkan luka mendalam bagi lingkungan dan generasi mendatang.
"Kami ingin pembangunan berkelanjutan, bukan kehancuran yang ditinggalkan," tegas Jumadil, menyuarakan keresahan warga yang hidup berdampingan dengan alam.
Lebih jauh, ia menilai bahwa Kabupaten Sinjai sesungguhnya memiliki cukup potensi untuk tumbuh tanpa harus bergantung pada sektor tambang. Pertanian yang subur, laut yang kaya, hutan yang asri, dan panorama yang memesona adalah warisan yang bisa dikelola tanpa harus menggali isi perut bumi.
"Setiap kebijakan harus mempertimbangkan dampak jangka panjang, termasuk bagaimana limbah tambang dikelola. Jangan sampai alam rusak, masyarakat yang menanggung akibatnya," ujarnya.