INILAHPOS.com - Bencana gempa bumi yang mengguncang Lombok pada 2018 meninggalkan luka mendalam. Gempa ini merenggut 387 nyawa, dan ribuan rumah rusak parah. Trauma mendalam menyelimuti masyarakat Lombok yang kehilangan rumah, keluarga, dan harapan.
Namun, di tengah derita rakyat, muncul satu pertanyaan: di mana peran Lalu Muhammad Iqbal, yang saat itu menjabat sebagai Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia (PWNI) di Kementerian Luar Negeri?
Sebagai pejabat tinggi, Iqbal memiliki wewenang strategis untuk melobi bantuan internasional dan menggerakkan sumber daya demi membantu korban gempa Lombok.
Namun, banyak pihak mempertanyakan tindakannya, atau lebih tepatnya, ketidakaksiannya di tengah bencana besar ini. Masyarakat Lombok bertanya-tanya mengapa sosok yang seharusnya berada di garis depan penanganan bencana, justru terkesan bungkam dan pasif.
Padahal, posisinya saat itu sangat penting dalam diplomasi kemanusiaan. Lombok, bagian dari tanah air yang sedang hancur, membutuhkan bantuan dan perhatian. Ribuan keluarga hidup tanpa tempat tinggal, anak-anak belajar di sekolah darurat, dan kehidupan sehari-hari penuh dengan ketidakpastian.
Ketika Iqbal diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Turki pada 2019, muncul harapan baru. Turki, yang dikenal dengan respons cepat terhadap krisis kemanusiaan, bisa menjadi mitra strategis dalam membantu pemulihan Lombok.
Namun, harapan itu pupus seiring berjalannya waktu. Iqbal kembali diam, tanpa upaya diplomasi berarti untuk mendorong bantuan internasional.
Mengapa seorang pejabat dengan akses luas memilih untuk tidak berbuat apa-apa? Di saat bantuan mengalir dari berbagai penjuru dunia, Iqbal yang seharusnya menjadi jembatan antara Indonesia dan komunitas internasional, justru memilih menyaksikan dari kejauhan tanpa aksi nyata.
Masyarakat Lombok berhak mengetahui alasan di balik ketidakaktifan seorang pejabat yang memiliki kekuasaan besar untuk membawa perubahan. Tindakan atau ketidakaksiannya harus menjadi refleksi bagi para pemimpin.
Kepemimpinan bukan hanya soal jabatan, melainkan tentang bagaimana mengambil tindakan nyata di saat rakyat sangat membutuhkan.
Gempa Lombok 2018 adalah panggilan bagi para pemimpin untuk bersatu dan bekerja demi kepentingan masyarakat. Ketika pemimpin memilih diam, rakyat yang menderita.
Masyarakat Lombok masih menunggu tidak hanya bantuan fisik, tetapi juga empati dan aksi nyata dari mereka yang memiliki tanggung jawab.