Oleh : Muhammad Yasin
Kemandirian pangan merupakan salah satu pilar utama pembangunan nasional. Dalam visi pemerintahan Prabowo Subianto, agenda ini dijadikan prioritas sebagai upaya mengurangi ketergantungan impor serta memperkuat daya tahan bangsa menghadapi krisis global.
Namun, kemandirian pangan tidak hanya berbicara soal ketersediaan beras atau jagung, melainkan juga mencakup subsektor peternakan yang menjadi penyedia protein hewani, sumber gizi esensial, sekaligus penggerak ekonomi pedesaan. Sayangnya, perhatian terhadap sektor peternakan dalam wacana kemandirian pangan masih relatif tersisih dibanding sektor tanaman pangan.
Sektor Peternakan dalam Isu Kemandirian Pangan, Peternakan memiliki peran strategis dalam menopang ketahanan gizi masyarakat. Produk hewani seperti daging, telur, dan susu merupakan sumber protein berkualitas tinggi yang tidak dapat sepenuhnya digantikan oleh pangan nabati.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa subsektor ini menghadapi berbagai tantangan serius, yakni :
1. Ketergantungan pada impor
Indonesia masih sangat bergantung pada impor sapi bakalan, daging beku, dan bahkan bahan baku pakan seperti jagung dan kedelai. Kondisi ini menjadikan subsektor peternakan rapuh terhadap fluktuasi harga global.
2. Keterbatasan pakan dan efisiensi produksi Biaya pakan menyumbang lebih dari 60–70% total biaya produksi pada usaha ternak ayam ras dan sapi. Ketergantungan pada pakan berbasis jagung impor membuat harga daging dan telur sulit stabil di pasar domestik.
3. Permasalahan bibit dan genetika
Ketersediaan bibit unggul ternak lokal masih terbatas. Sapi potong lokal, misalnya, memiliki pertumbuhan yang relatif lambat dibandingkan sapi impor. Upaya pemuliaan belum menjadi kebijakan prioritas.
4. Rendahnya inovasi teknologi dan riset terapan
Adopsi teknologi modern, mulai dari manajemen reproduksi hingga sistem integrasi pertanian-peternakan, masih minim. Kolaborasi riset kampus dengan industri peternakan juga belum berjalan optimal.
5. Kesejahteraan peternak kecil
Sebagian besar peternakan di Indonesia masih berskala kecil dengan modal terbatas. Tanpa intervensi negara, mereka akan sulit beradaptasi menghadapi tekanan pasar global.
Gagasan kemandirian pangan yang diusung oleh pemerintahan Prabowo patut diapresiasi sebagai sebuah langkah strategis dalam memperkuat ketahanan nasional. Namun, di balik visi besar tersebut, masih terdapat sejumlah celah yang perlu mendapat perhatian lebih serius agar kemandirian pangan benar-benar mencakup seluruh sektor, termasuk peternakan.
Selama ini, narasi kemandirian pangan masih bias pada tanaman pangan seperti padi dan jagung, sementara peternakan kerap hanya diposisikan sebagai subsektor pendukung. Padahal, kontribusi sektor peternakan tidak hanya pada penyediaan protein hewani, tetapi juga menyangkut kesehatan generasi mendatang dan stabilitas ekonomi pedesaan.
Selain itu, kebijakan pangan kita masih cenderung reaktif, bukan preventif. Pemerintah lebih sering menempuh jalan pintas melalui impor ketika menghadapi lonjakan harga atau kekurangan pasokan. Pola semacam ini memang dapat menjadi solusi instan, tetapi jelas tidak mendukung kemandirian jangka panjang.
Fondasi produksi lokal harus dibangun dengan serius, termasuk dalam hal pembenahan tata kelola peternakan, penguatan rantai pasok, hingga penyediaan sarana produksi yang stabil dan terjangkau.
Hal lain yang tidak kalah penting adalah lemahnya dukungan terhadap riset dan inovasi di bidang peternakan. Perguruan tinggi telah menghasilkan berbagai kajian dan teknologi terapan, mulai dari perbaikan pakan hingga manajemen kesehatan hewan, namun implementasinya di tingkat nasional masih minim. Tanpa jembatan kebijakan yang menghubungkan hasil riset dengan kebutuhan industri, sektor peternakan akan sulit berkembang secara berkelanjutan.
Di sisi lain, masalah ketidakmerataan akses juga masih menghantui peternak kecil. Mereka seringkali tidak memiliki akses kredit yang memadai, terbatas dalam infrastruktur penunjang, dan menghadapi kesulitan menembus pasar yang lebih luas. Jika kondisi ini tidak segera diatasi, kemandirian pangan hanya akan dinikmati oleh kelompok besar dan investor bermodal kuat, sementara peternak rakyat tetap tertinggal di belakang.
Dengan demikian, jika pemerintah ingin menjadikan kemandirian pangan sebagai fondasi pembangunan bangsa, maka narasinya harus diperluas melampaui komoditas tanaman pangan. Peternakan perlu ditempatkan sejajar, riset harus diberi ruang implementasi nyata, dan peternak kecil wajib mendapat dukungan konkret. Hanya dengan cara itu, visi kemandirian pangan tidak berhenti sebagai slogan, melainkan menjadi gerakan kolektif yang benar-benar berdampak bagi seluruh lapisan masyarakat.
Agar visi kemandirian pangan benar-benar terwujud, diperlukan catatan perbaikan yang lebih komprehensif pada sektor peternakan. Selama ini, orientasi kebijakan pangan masih terlalu terpusat pada swasembada beras, padahal kebutuhan gizi masyarakat tidak hanya bergantung pada karbohidrat.
Protein hewani merupakan elemen kunci dalam mewujudkan kualitas kesehatan bangsa, sehingga diversifikasi kebijakan pangan mutlak diperlukan. Dengan cara ini, peternakan tidak lagi diposisikan sebagai subsektor pendukung, melainkan pilar penting dalam menjaga keseimbangan gizi nasional.
Salah satu aspek yang perlu segera dibenahi adalah pengembangan pakan lokal berbasis sumber daya domestik. Ketergantungan pada jagung dan kedelai impor membuat biaya produksi peternakan sulit ditekan. Pemerintah dapat mendorong inovasi pemanfaatan limbah pertanian, singkong, maupun sumber daya lokal lain sebagai pakan alternatif. Upaya ini bukan hanya menekan biaya, tetapi juga mendorong kemandirian rantai pasok sekaligus membuka peluang ekonomi baru di daerah penghasil bahan baku.
Tidak kalah penting adalah peningkatan mutu bibit dan program pemuliaan ternak lokal. Investasi besar harus diarahkan pada pengembangan sapi potong, unggas, maupun kambing agar mampu bersaing dengan bibit impor. Pemuliaan yang berfokus pada adaptasi lingkungan tropis dan ketahanan penyakit akan menghasilkan bibit yang lebih produktif dan efisien. Dengan begitu, Indonesia tidak lagi bergantung pada impor bibit yang kerap menjadi beban jangka panjang.
Di samping itu, penguatan riset dan sinergi antara perguruan tinggi dengan industri peternakan harus diperkuat. Hasil penelitian yang telah lama berkembang di laboratorium harus diberi ruang untuk diimplementasikan dalam skala luas.
Teknologi aplikatif, seperti integrasi pertanian-peternakan, bioteknologi reproduksi, hingga manajemen kesehatan hewan, bisa menjadi solusi konkret yang langsung menyentuh kebutuhan peternak di lapangan. Sinergi semacam ini akan mempercepat modernisasi sektor peternakan tanpa harus bergantung pada teknologi impor.
Akhirnya, revitalisasi peran peternak kecil merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan kemandirian pangan yang inklusif. Skema kredit lunak, subsidi pakan, serta penguatan koperasi perlu diperluas agar peternak kecil tidak hanya menjadi pelengkap dalam rantai pasok, melainkan bagian inti dari sistem pangan nasional.
Dengan dukungan yang tepat, peternak rakyat dapat naik kelas, memperkuat daya saing, sekaligus memastikan bahwa kemandirian pangan tidak hanya menguntungkan korporasi besar, tetapi benar-benar dirasakan manfaatnya oleh seluruh lapisan masyarakat.
Kemandirian pangan di era Prabowo akan sulit terwujud jika subsektor peternakan hanya ditempatkan sebagai pelengkap. Kritik ini bukanlah bentuk pesimisme, melainkan dorongan agar kebijakan kemandirian pangan lebih inklusif, berbasis riset, dan berpihak pada peternak kecil.
Dengan langkah strategis tersebut, Indonesia bukan hanya mampu memenuhi kebutuhan beras, tetapi juga menjamin ketersediaan protein hewani sebagai fondasi kualitas sumber daya manusia di masa depan.