OPINI: “Ketika Otoritas Bicara di Luar Domainnya”
Cari Berita

Iklan Atas

iklan

OPINI: “Ketika Otoritas Bicara di Luar Domainnya”

inilahpos
17 Juli 2025

OPINI: “Ketika Otoritas Bicara di Luar Domainnya”

Oleh: WAHID Pemerhati Sosial Media


Di tengah polemik keaslian ijazah Presiden Joko Widodo, muncul sosok Prof. Dr. Sofian Effendi, mantan Rektor Universitas Gadjah Mada yang secara terbuka menyampaikan keraguannya terhadap dokumen akademik seorang alumnus Fakultas Kehutanan. Sebagian publik pun tersentak. Apakah benar ijazah seorang kepala negara bisa dipertanyakan hanya berdasar dugaan dan persepsi?


Namun, mari kita jujur dan objektif.


Prof. Sofian bukan bagian dari Fakultas Kehutanan. Ia tidak pernah menjadi dosen pembimbing, penguji, bahkan bukan bagian dari struktur akademik atau administrasi fakultas tersebut. Bahkan saat ia menjadi rektor pun, Jokowi sudah lulus hampir dua dekade sebelumnya. 


Maka, pertanyaannya sederhana: atas dasar apa beliau merasa memiliki otoritas untuk bicara seolah mengetahui seluk-beluk proses akademik Jokowi di fakultas yang bahkan bukan miliknya?


Setiap fakultas memiliki otonomi akademik dan administratif. Format ijazah, pengarsipan skripsi, hingga tanda tangan pembimbing—semuanya dikelola sendiri oleh fakultas terkait, bukan oleh orang luar, meskipun bergelar profesor. Tidak ada dasar akademik, administratif, maupun etis yang membenarkan seseorang menghakimi keabsahan dokumen dari luar fakultas tanpa akses sah atau pengetahuan langsung.


Yang lebih memprihatinkan, ketika keraguan pribadi disampaikan ke publik tanpa verifikasi formal, hal itu membuka ruang bagi hoaks dan manipulasi informasi. Publik akan termakan opini karena yang berbicara bergelar “Profesor” dan “mantan Rektor”, padahal komentar tersebut bukan hasil audit resmi, bukan temuan tim arsip, apalagi kesaksian langsung.


Dalam tradisi akademik yang sehat, kebenaran diuji lewat metodologi, bukan prasangka. Integritas dibangun dengan akurasi, bukan asumsi. Maka jika Prof. Sofian memang memiliki keraguan serius, seharusnya ia mengajukannya ke otoritas kampus, bukan melemparkannya ke ruang publik yang rentan digoreng menjadi fitnah politik.


Apakah kita masih bisa membedakan kritik akademik dengan opini liar?


Apakah seorang ilmuwan boleh bicara seolah tahu, padahal tidak pernah melihat?


Apakah jabatan masa lalu memberi hak untuk mencampuri domain fakultas lain?


Pertanyaan-pertanyaan ini penting, bukan hanya untuk membela Presiden Jokowi, tetapi untuk menjaga kewarasan publik dan menjaga kehormatan dunia akademik.


Karena jika kita membiarkan akademisi berbicara seenaknya, di luar bidangnya, tanpa bukti dan tanpa tanggung jawab, maka kita tidak hanya membunuh logika publik — kita sedang menghancurkan integritas universitas itu sendiri.


Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis